Cari Penghasilan di Masa Pensiun
ABRI yang dikaryakan di jabatan sipil masih tetap ada, walau dicoba ditekan. Soalnya, itulah tempat mereka mencari penghasilan di saat pensiun.
SUDAH dua bulan Kolonel Herman Ibrahim, 50 tahun, menanggalkan baju tentaranya. Kini, ia lebih banyak berbusana safari. Bidang kerja yang sekarang ditangani oleh mantan Kepala Penerangan Kodam Siliwangi itu sebenarnya tak terlalu jauh berbeda dengan yang lama, hanya dunianya yang berbeda. Dari dunia militer, kini ia terjun ke ladang sipil dengan menjadi Kepala Biro Humas Departemen Dalam Negeri.

Setelah menjadi juru bicara untuk tiga pangdam selama lebih dari lima tahun, Herman kemudian ditarik oleh Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid?mantan Kapendam Siliwangi?untuk menjadi juru bicara departemennya. Herman adalah salah satu contoh anggota ABRI aktif yang masuk dalam jalur kekaryaan. Artinya, untuk sementara ia tidak bekerja di ABRI, melainkan ditempatkan pada jabatan sipil di birokrasi atau BUMN.

Kekaryaan inilah yang menurut para pimpinan ABRI kerap dikacaukan dengan dwifungsi. Padahal, bagi mereka, dwifungsi punya arti lebih luas, yaitu komitmen ABRI untuk bersama-sama rakyat berjuang mencapai tujuan nasional. ”Dwifungsi tak ada kaitannya dengan jabatan,” kata Brigjen Nurhadi Purwosaputro, semasa menjadi Kepala Pusat Penerangan ABRI. Apa pun jawabannya, nyatanya kekaryaan itulah yang menyebabkan ABRI sulit melepaskan fungsi sospol dari dwifungsinya. Soalnya, sudah bukan rahasia lagi, banyak perwira yang menjelang pensiun bercita-cita untuk meneruskan kariernya sebagai gubernur atau bupati, dua jabatan sipil yang diincar. ”Jadi, ini semacam pensiun untuk ABRI,” ujar pengamat militer Indonesia asal Australia, Harold Crouch, kepada Purwani D. Prabandari dari TEMPO.

Faktanya, jumlah perwira yang bekerja dalam birokrasi memang lumayan besar, walaupun selama dasawarsa terakhir, dengan banyaknya kritikan, pemerintah mencoba menekannya. Dalam buku Bila ABRI Menghendaki, yang ditulis berdasar penelitian beberapa orang LIPI, disebutkan bahwa dari 23 orang menteri dalam Kabinet Pembangunan I, ada 8 orang alias 24 persen yang berasal dari ABRI. Jumlah ini naik turun dalam kabinet-kabinet selanjutnya. Jumlah duta besar dari ABRI pun menurun dari 44 persen di awal pelita I menjadi 17 persen dalam jangka waktu 25 tahun. Begitu juga jabatan gubernur. Menurut Rudini, selama ia menjabat Mendagri, jumlah gubernur ia tekan dari hampir 60 persen sampai tinggal 38 persen.

Walaupun jumlahnya dicoba diturunkan, tetap saja kritik berhamburan karena mereka dianggap mengambil jatah warga sipil. Sebenarnya, ketika kekaryaan mula-mula digunakan, tak ada sepotong protes pun dilontarkan warga sipil. Para pemimpin ABRI itu dianggap mampu meredam konflik yang terjadi. Sesudah pemberontakan G30S/PKI, misalnya, ketika banyak gubernur dan bupati dibunuh atau bersembunyi, para perwira ABRI mengambil alih kekosongan sehingga roda pemerintahan tetap bisa berjalan. Semua tenaga dikerahkan. Sampai-sampai, menurut cerita Rudini, ada seorang lulusan AMN berpangkat letnan satu yang dijadikan bupati, tapi belakangan ia ditarik lagi karena jabatan itu minimal dipegang oleh seorang mayor.

Pengisian jabatan sipil oleh kader bersenjata ini kemudian berjalan terus. Alasannya, menurut penilaian Wakil Direktur CSIS Harry Tjan Silalahi, adalah karena kaderisasi tokoh sipil terhambat dengan terpecahnya mereka dalam berbagai kelompok. Sementara itu, ABRI secara sistematis sudah membuat pengaderan. Keadaan ini makin diperburuk karena selama Soeharto berkuasa ia lebih percaya bila jabatan-jabatan penting itu dipegang oleh para perwira ABRI. Maka, sipil pun mengalami stagnasi.

Memang, tak ada aturan tertulis yang mengatur kapan seorang perwira harus menggantikan warga sipil. Yang ada hanyalah konsensus antara warga sipil dan militer bahwa bila daerah itu rawan, sebaiknya gubernurnya diambil dari ABRI. Menurut istilah Harry Tjan, kekaryaan ini bukanlah jatah, tapi berdasar pada prinsip the right man on the right place, dan berpegang pada kebutuhan serta permintaan. Namun, karena ABRI selalu menekankan alasan stabilitas, selama bertahun-tahun mereka punya alasan untuk menempatkan anggotanya. Tapi hal ini dibantah oleh Mayjen (Purn.) Adang Ruchiatna, Irjen Departemen Sosial. ”Tidak pernah ABRI melacurkan diri dan memaksakan maunya sendiri,” ujarnya. Masuknya ia ke Departemen Sosial, sebagai contoh, adalah atas permintaan Menteri Sosial sendiri.

Apa pun jawaban mereka, tuntutan kaum sipil agar jabatan mereka dikembalikan makin nyaring. Tampaknya, protes ini membuat Pangab Wiranto risi. Akhir September lalu, dalam sebuah seminar ”Peran ABRI Abad XXI” di Bandung, Wiranto mengumumkan empat paradigma baru ABRI. Salah satunya adalah membagi peran politik dengan sipil dan mengubah cara mempengaruhi masyarakat dari langsung menjadi tidak langsung.

Paradigma baru ini, ujar Herman Ibrahim, membawa konsekuensi agar kekaryaan ABRI ditarik. Hal ini disetujui oleh Rudini. ”Tugas kekaryaan out, dihapus. Tapi dwifungsinya diperbaiki,” ujar Direktur Lembaga Pengkajian Strategis Indonesia. Tentu saja, sebagai warga negara biasa, seperti halnya pegawai negeri sipil, mereka juga punya hak untuk duduk di pemerintahan. Syaratnya, mereka harus pensiun dulu dari jabatannya di ABRI dan ikut pemilihan lewat jalur biasa.

Masalahnya, bila mereka masuk melalui jalur biasa, apakah sebenarnya mereka punya kemampuan untuk memegang jabatan tersebut? Selama ini pendapat yang berkembang adalah ABRI merupakan kawah candradimuka yang baik untuk mencetak calon pemimpin yang teruji. Organisasi mereka yang solid tak bakal tersaingi oleh kelompok sipil.

Kini pendapat itu banyak disangsikan. Dilihat dari bibitnya saja, calon pemimpin ABRI tersebut bukan berasal dari bibit unggul. Berdasar data dari Markas Komando Akabri tahun akademik 1993/1994, calon taruna yang rankingnya tinggi dan punya nilai ebtanas murni (NEM) di atas 50 hanya sekitar 12 persen dari 2.500 calon. Bila sudah lulus pun, yang 12 persen inilah yang bakal melejit jadi jenderal. Menurut J. Kristiadi, Wakil Direktur CSIS, yang punya banyak hubungan dengan ABRI, kenaikan pangkat di ABRI?terutama pada zaman Soeharto?tak lagi berdasar kemampuan dan kualitas calon, tapi karena kedekatannya dengan sumber kekuasaan. Karena itu, tak aneh bila dalam dekade terakhir, kualitas pucuk pimpinan ABRI merosot.

Dengan mutu seperti itu, mereka harus bersaing dengan calon-calon pemimpin sipil yang secara profesional kini punya banyak wahana untuk mengasah kemampuannya. Kalau melihat daftar riwayat hidup para eksekutif muda di dunia bisnis saat ini, tampaknya sejak awal mereka sudah terbiasa bersaing untuk mendapatkan sekolah maupun pekerjaan yang terbaik. Mereka pun jauh lebih pandai bernegosiasi dengan pelbagai pihak?suatu hal yang tak mungkin teruji pada perwira ABRI yang terbiasa dengan sistem komando dari atas. Padahal, modal itulah yang dibutuhkan bagi pemimpin di masa depan, yang lebih mengandalkan perdagangan ketimbang perang.

Kekurangan ini disadari benar oleh Herman Ibrahim, Kepala Biro Humas Departemen Dalam Negeri yang bisa masuk ke departemen itu lantaran ditarik oleh Syarwan Hamid. Diakuinya, perwira akan efektif pada tahap-tahap pekerjaan yang memerlukan suatu pergantian yang sifatnya berupa tindakan khusus, seperti memperbaiki sistem. Namun, pada tahap-tahap manajerial yang lebih spesifik, ABRI tak bisa mengerjakan semuanya karena memerlukan keahlian. ”Seperti saya, mungkin untuk tahap-tahap tertentu masih dibutuhkan pengalaman di penerangan kodam. Tapi kalau sudah menyangkut bagaimana konsep dan manajerial kehumasan, saya tak punya latar belakang. Jadi, saya mungkin harus diganti orang lain,” ujarnya. Tapi, Adang Ruchiatna tak sependapat. Menurut Adang, setiap orang punya kelebihan masing-masing. ”Ada juga purnawirawan ABRI yang kinerjanya jauh lebih bagus dibandingkan dengan eksekutif muda,” tandasnya.

Benarkah? Beberapa eksekutif muda yang dihubungi membantahnya. Menurut mereka, para perwira ABRI memang punya kelebihan dibandingkan dengan warga sipil karena disiplin dan menguasai strategi dengan baik. Mereka juga punya kesehatan fisik yang prima. Tapi, di luar itu, para eksekutif itu merasa lebih unggul. Misalnya, dalam kepiawaian bernegosiasi. Menurut seorang eksekutif muda perbankan yang tidak bersedia disebut namanya, karena dunia militer tak mengenal kata kalah, maka para perwira itu tidak mampu menerapkan prinsip win-win yang kini banyak dipakai para eksekutif. ”Mereka juga tidak punya visi bisnis, di samping kurangnya latar belakang bisnis,” ujar Ahmad Mukhlis Yusuf, Direktur PT Citra Industry, yang di usia 33 tahun sudah mengantongi gelar magister manajemen, kepada Agus Hidayat dari TEMPO.

Karena itu, mereka menyarankan agar para perwira ABRI ?yang biasanya mendapat posisi sebagai direktur atau komisaris karena hadiah dari para pemilik perusahaan?hendaknya mengambil training atau sekolah lanjutan sebelum dikaryakan. Jika terbukti gagal, mereka juga harus rendah hati dengan bersedia dicopot; suatu hal yang sulit dilakukan bila mereka berpendapat bahwa kekaryaan inilah kartu pensiun mereka.

Diah Purnomowati, Darmawan S., Hani P.,Hendriko L.W., Raju F.

Kekaryaan ABRI

Jumlah Menteri dari ABRI

Kabinet Pembangunan l : 8 (semua aktif)

Kabinet Pembangunan ll : 6 (semua aktif)

Kabinet Pembangunan lll : 15 (14 aktif + 1 purnawirawan)

Kabinet Pembangunan lV : 17 (4 aktif + 13 purnawirawan)

Kabinet Pembangunan V : 14 (4 aktif + 10 purnawirawan)

Kabinet Pembangunan Vl : 10 (4 aktif + 6 purnawirawan)

Jumlah Gubernur dari ABRI

Pelita l : 19 orang

Pelita ll : 20 orang

Pelita lll : 16 orang

Pelita lV : 14 orang

Pelita V : 12 orang

Tinggalkan komentar